[BERANI KAH?] Jakarta Perlu Meniru Beijing Membatasi Mobil – Lotere Plat Nomor

Berani kah? Itu pertanyaannya. Pasti akan banyak sekali gelombang protes dari berbagai kalangan jika sistem lotere plat nomor dilakukan di Jakarta. Perdebatan panjang pasti akan terjadi dan bisa ditayangkan terus menerus selama beberapa bulan di berbagai stasiun TV.

Sudah pasti.

Di sebuah negara dimana sistem transportasi massalnya masih dalam pengembangan dan ditambah dengan budaya masyarakat yang masih menganggap motor sebagai ciri dari kemakmuran, pemaksaan untuk membatasi penjualannya akan mengundang pro dan kontra yang sangat hebat.

Tetapi, Beijing melakukannya.

Ibukota Cina (Tiongkok)  ini menerapkan sebuah sistem yang bisa dikata sangat tidak demokratis. Mereka membatasi orang untuk membeli mobil. Seberapapun kaya seseorang ia tidak bisa serta merta membeli kendaraan bermotor beroda empat ini.

Seseorang yang ingin memiliki mobil haruslah mengikuti sebuah lotere. Yang diperebutkan dalam lotere ini bukanlah barang berharga, tetapi hanya “Plat Nomor Kendaraan”. Sama seperti di banyak negara setiap mobil pun harus memiliki identitas berupa nomor yang biasanya ditaruh di belakang atau di depan.

Nah, di kota berpenduduk lebih dari 21 juta ini, seseorang tidak bisa hanya sekedar membeli mobil, mendaftarkannya ke Samsat, dan kemudian diberi nomo rkendaraan. Mereka harus mengikuti sebuah undian untuk mendapatkannya.

Persaingannya teramat sangat keras karena ekonomi negeri itu yang semakin baik menghadirkan jutaan orang berpenghasilan besar. Sementara, jumlah Plat Nomor Kendaraan yang dikeluarkan pihak yang berwenang sangat sedikit sekali.

Pemerintah Beijing pada tahun 2016 hanya mengeluarkan 90 ribu Plat Nomor Kendaraan. Jumlah ini menurun 30 ribu buah dari tahun sebelumnya. Pernah dalam satu bulan terjadi 725 Plat Kendaraan yang diundikan diperebutkan oleh lebih dari 2 juta orang.

Penerapan lotere khusus ini didasari pada kenyataan bahwa Beijing adalah salah satu kota termacet di dunia karena jumlah kendaraan yang terus membengkak. Gelar lain yang juga tidak mengenakkan adalah ibukota Cina ini merupakan salah satu kota dengan polusi udara terburuk, lagi-lagi di dunia.

Pemerintah Cina menyadari bahwa kendaraan bermotor, mobil dalam hal ini adalah salah satu penyumbang bagi memburuknya kualitas udara disana, selain tentunya semakin penuhnya jalan-jalan disana.

Untuk itulah mereka membatasi agar jumlah kendaraan yang beroperasi di kota itu tidak akan melebihi 6.3 juta mobil pada tahun 2020.

Selain itu sanksi yang tegas juga diberikan kepada pelanggar. Berkendara tanpa pelat nomor terdaftar akan dikenakan US$ 30/satu pelanggaran ditambah penalti berupa poin yang jika diakumulasi bisa menyebabkan pencabutan SIM (Surat Izin Mengemudi).

Kendaraan dari luar kota pun harus memiliki pelat nomor Beijing untuk bisa berlalu lalang di kota ini. Jadi, tidak bisa seperti di Indonesia dimana seorang memiliki mobil dengan plat nomor dari luar Jakarta.

Nah, beranikah Jakarta menirunya?

Jakarta sudah terkenal sebagai kota macet, apalagi ketika hujan turun. Sudah terlalu banyak cerita dimana pengendara mbil terjebak selama beberapa jam hanya untuk menempuh jarak beberapa kilometer saja.

Hal ini disebabkan panjang jalan yang ada di ibukota Indonesia ini sudah tidak lagi mampu menampung kendaraan yang lalu lalang melaluinya. Polda Jakarta tahun 2015 mencatat ada 17 juta lebih kendaraan bermotor di Jakarta. Angka ini mencakup +- 13 juta sepeda motor dan 4 juta mobil. Belum termasuk kendaraan dari Jabodetabek yang dipergunakan oleh para pelaju, sehingga jumlahnya sudah pasti lebih besar dari itu.

Padahal, jalan di Jakarta hanya sekitar 7000 Kilometer saja. Jumlah ini sudah termasuk jalan protokol dan jalan arteri. Jika mobil dideretkan maka jarak antara tiap mobil adalah 1.75 M saja. Belum termasuk sepeda motor.

Jadi, bisa dimengerti bahwa Jakarta susah lepas dari kemacetan.

Butuh sebuah tindakan drastis dan tegas untuk mencoba memecahkan masalah seperti ini. Penerapan lotere Plat Nomor Kendaraan ala Beijing adalah salah satunya karena :

  1. Akan mendorong orang untuk menggunakan transportasi umum
  2. Mencegah penambahan kendaraan yang berlalu lalang di jalan
  3. Mengurangi polutan yang masuk ke udara Jakarta

Bagaimana dengan sepeda motor? Sebenarnya sama saja. Batasi juga. Pertumbuhannya sudah terlalu banyak dan menyebabkan banyak masalah dimana-mana. Apalagi pemotor terkenal dengan kebiasaan ugal-ugalannya dan tidak mau patuh pada aturan.

Hanya, sekali lagi pertanyaannya BERANIKAH pemerintah Jakarta melakukannya?

Kemungkinan besar sih TIDAK. Pemerintahan Anies-Sandi saja justru hendak melakukan sebuah kebijakan populis dengan membatalkan Pergub yang melarang sepeda motor melintasi Jalan Sudirman.

Padahal itu adalah cikal bakal dari tindakan lanjutan yang bisa membantu memecahkan masalah kemacetan yang ada di ibukota.