Ketersediaan sarana olahraga yang baik dan terjangkau merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam sebuah pemukiman warga, seperti di sebuah kompleks perumahan. Tiadanya tempat untuk menggerakkan badan dan olahraga, selain mengurangi kenyamanan tinggal di sana, juga bisa berujung pada masalah yang mengakibatkan berkurangnya lahan serapan.
Padahal, keberadaan lahan serapan sangat penting juga agar bisa menyerap air hujan agar tidak langsung mengalir ke tempat lain. Berkurangnya volume air karena terserap oleh tanah merupakan salah satu faktor utama untuk mencegah bahaya banjir.
Banjir kiriman dari Bogor ke Jakarta yang terjadi setiap tahun merupakan salah satu akibat dari “hilangnya” lahan serapan di wilayah penunjang ibukota tersebut.
Pembangunan vila dan perumahan di kawasan penunjang ibukota disebut-sebut sebagai faktor utama terjadinya fenomena banjir kiriman tersebut. Bukan sesuatu yang salah karena memang begitu faktanya.
Meskipun demikian, ada satu hal yang jarang dipandang dan disebut sebagai ikut berperan dalam fenomena banjir tersebut. Hal itu adalah perubahan berbagai lahan serapan menjadi sarana olahraga. Hal ini biasa terjadi dalam lingkup kecil, yaitu di tingkat RT (Rukun Tetangga).
Setiap kompleks perumahan atau pemukiman biasanya dibangun dengan mengikuti rencana tata ruang yang ada. Di dalamnya akan terdapat berbagai fasum (fasilitas umum) berupa taman-taman kecil, yang berfungsi sebagai ruang publik, tempat bermain sekaligus lahan serapan.
Sayangnya, banyak sekali dari fasum itu yang diubah dan tidak mengikuti aslinya. Salah satu yang paling umum dilakukan adalah dengan merubahnya menjadi lapangan bulutangkis atau voli. Alasannya adalah agar warga bisa berolahraga dan menjadi sehat.
Jenis lapangan ini biasanya dibuat dengan menutup area dengan semen atau beton, yang pada akhirnya menghilangkan kemampuan tanah untuk menyerap air hujan. Rata-rata luas sebuah lapangan bulutangkis adalah 6.10 M X 13.40 meter. Dengan berubahnya sebuah fasum menjadi lapangan badminton, maka lahan serapan yang hilang adalah 81.74 M persegi.
Kalau satu memang tidak terasa, tetapi bila ada 3000 RT di wilayah Kota Bogor, maka luas lahan serapan yang hilang mencapai 245.220 meter persegi alias 24,5 hektar. Angka yang lumayan besar. Angka itu belum ditambah dengan berbagai struktur lain yang menyertai sebuah lapangan olahraga.
Mayoritas dari lahan tersebut berubah fungsi tanpa disadari oleh pihak yang berwenang, yaitu pemerintah kota. Keputusan perubahan fungsi terkadang ditentukan sendiri oleh Ketua Rukun Tetangga.
Tentu saja, adanya sarana olahraga di sebuah lingkungan akan mendatangkan benefit bagi warganya, tetapi di sisi lain, hal itu mengakibatkan dampak yang kurang baik bagi lingkungan.
Kemampuan tanah menyerap air hujan berkurang. Semakin banyak sarana olahraga yang dibangun atas inisiatif warga, semakin berkurang kemampuan bumi dan tanah menyerap air hujan. Dan, pada akhirnya, air yang meluap tadi akan menjadi bagian dari banjir yang menggenangi wilayah lain.
Hal yang terlihat sangat kecil dan sepele, tetapi, hal yang kecil kalau ditumpuk akan membesar dan menjadi bukit juga.
Berubahnya taman-taman kecil, yang juga berfungsi menjadi lahan serapan, menjadi sarana olahraga, terlihat tidak akan memberi pengaruh apa-apa. Sayangnya, hal itu tidak benar. Berbagai masalah lingkungan yang terjadi dewasa ini juga disebabkan oleh kurang sadarnya manusia terhadap hal-hal kecil, seperti membuang sampah sembarangan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, jika di kompleks perumahan terdapat taman-taman kecil, janganlah merubahnya menjadi sarana olahraga, seperti lapangan bulutangkis. Taman-taman itu menjalankan fungsi ganda, selain sebagai penghias, ruang bermain, sebagai paru-paru lingkungan tersebut, juga sebagai salah satu bagian dari sistem untuk menyerap air hujan dan mengurangi resiko terjadinya banjir.
Jangan paksakan merubah hanya sekedar untuk bermain bulutangkis. Kepuasan bermain selama beberapa jam tidak sebanding dengan resiko yang timbul kalau taman itu tidak bisa menjalankan fungsi pentingnya, yaitu menyerap air hujan.